19. LA PADASSAJATI TO APPAWARE
(1715 – 1718)
La Padassajati To Appaware juga adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dengan isterinya We Mariama Karaeng Pattukangang. Ketika La Patau menjadi Mangkau’ di Bone, La Padassajati To Appaware membuat kesalahan besar dengan hukuman yang sangat berat.
Karena dia takut kepada ayahnya yang dikenal sangat menjunjung tinggi adat serta tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum, maka La Padassajati melarikan diri ke Gowa. Di sana ia minta perlindungan kepada neneknya KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu La Patau Matanna Tikka minta kepada KaraengE ri Gowa untuk mengembalikan La Padassajati ke Bone untuk diadili oleh adat.
Tetapi KaraengE ri Gowa tidak sampai hati untuk memberikan cucunya itu untuk menjalani hukuman berat di Bone. Hal ini membuat hubungan antara Bone dengan Gowa menjadi tegang dan nyaris menimbulkan peperangan.
Untung Kompeni Belanda cepat-cepat menengahinya. Karena La Patau Matanna Tikka sudah bertegas untuk memberi tindakan tegas kepada Gowa kalau anaknya itu tidak dikembalikan ke Bone untuk menjalani hukuman. Sementara Karaeng E ri Gowa juga bertegas untuk tidak akan memberikan cucunya itu.
Setelah ayahnya meninggal dunia, barulah La Padassajati kembali ke Bone. Batari Tojalah yang mengembalikan adiknya itu ke Bone yang kemudian memberinya akkarungeng (Mangkau’) di Bone dan Datu Soppeng pada tanggal 14 Oktober 1715 M.
Adapun kesalahan yang dilakukan La Padassajati pada masa pemerintahan ayahnya adalah dia menyuruh untuk membunuh Arung Ujumpulu Datu Lamuru yang bernama La Cella anak dari La Malewai Arung Ujumpulu Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Tana MaridiE dengan isterinya yang bernama We Karoro Datu Lamuru. La Padassajati menyuruh orang mencekiknya sampai mati.
Tindakan La Padassajati ini membuat TellumpoccoE marah dan disuruh tangkaplah La Padassajati untuk dijatuhi hukuman. Untuk menghindari hukuman tersebut La Padassajati disuruh mengungsi ke Beula. Di sanalah ia meninggal dunia sehingga digelar MatinroE ri Beula.
20. LA PAREPPAI TO SAPPEWALI
(1718 – 1721)
La Pareppai To Sappewali menggantikan saudaranya La Padassajati menjadi Mangkau’ di Bone. Inilah anak tertua dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Pattukangang.
La Pareppai To Sappewali di samping sebagai Arumpone, dia juga sebagai Somba ri Gowa dan Datu di Soppeng. Dia menggantikan neneknya sebagai Somba ri Gowa pada tahun 1709 M. Dia pula diberi nama Sultan Ismail yang disebut dalam khutbah Jumat.
Ketika menjadi Karaeng ri Gowa, ia bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi permusuhan tersebut berakhir dengan kekalahan Gowa dari serangan Bone.
Karena La Pareppai To Sappewali kelihatannya tidak terlalu menguasai pemerintahan, maka pada tahun 1711 M. dia meletakkan Akkarungeng di Gowa, Bone dan Soppeng. Ketika ia meninggal dinamakan MatinroE ri Somba Opu.
Anaknya kawin dengan We Gumittiri yang melahirkan La Muanneng yang kemudian menjadi Arung Pattiro. La Muanneng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Pakkemme’ Arung Majang, anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama Sitti Abiba.
La Muanneng dengan We Tenri Pakkemme’ melahirkan anak yang bernama La Pajarungi Daeng Mallalengi Arung Majang. Selanjutnya La Muanneng dengan We Gumittiri melahirkan La Massellomo yang menjadi Ponggawa Bone. Inilah yang dinamakan Ponggawa Bone LaoE ri Luwu. La Massellomo kawin dengan Petta ri Batu Pute, melahirkan anak laki-laki yang bernama La Massompongeng, inilah yang menjadi Arung Amali.
Kamudian La Massellomo kawin lagi dengan We Camendini Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappesangka Daeng Makkuling. Inilah yang kawin dengan Besse Tanete Karaeng Bulukumba.
Selanjutnya La Massellomo kawin lagi dengan Arung Tajong. Dari perkawinannya ini lahir La Mappapenning To Appaimeng Daeng Makkuling. Kawin dengan sepupu satu kali ayahnya yang bernama I Mida Arung Takalara anak dari MatinroE ri Malimongeng dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo, We Yallu Arung Apala, We Oja dan We Banrigau.
Adapun saudara perempuan La Massellomo bernama We Senradatu Sitti Amira Arung Palakka MatinroE ri Lanna. Inilah yang kawin di Mangkasar dengan Makasuma yang kemudian melahirkan I Sugiratu. Karena bercerai dengan Makasuma, maka kawin lagi dan melahirkan We Besse Karaeng Leppangeng. Dengan demikian I Sugiratu dengan We Besse Karaeng Leppangeng bersaudara, tetapi lain ayahnya.
I Sugiratu kawin dengan Arung Ujung anak dari To Marilaleng Pawelaiye ri Kariwisi dengan isterinya yang bernama Karaeng Pabbineya. Dari perkawinan itu, lahirlah La Umpu Arung Teko. Selanjutnya We Besse Karaeng Leppangeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Massompongeng Arung Sumaling. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Rukiyah.
We Rukiyah kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Umpu Arung Teko yang juga sebagai Arung Ujung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Bau Arung Kaju. Kemudian We Bau kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Mappasessu Arung Palakka anak dari La Tenri Tappu dengan isterinya We Padauleng Arung Timurung. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Baego Arung Macege.
We Besse kemudian kawin lagi dengan To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE. Dari perkawinan yang kedua ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama To Appasawe Arung Berru. To Appasawe inilah yang kawin dengan Arung Paopao yang bernama Hatijah, anak dari La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama Sitti Abiba. To Appasawe dengan Arung Paopao melahirkan anak laki-laki bernama Sumange’ Rukka To Patarai.
Sumange’ Rukka To Patarai kawin dengan anak sepupunya yang bernama We Baego Arung Macege, anak dari We Bau Arung Kaju dengan suaminya yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinan Sumange’ Rukka dengan We Baego Arung Macege, lahirlah We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
La Pareppai To Sappewali meninggal dunia di Somba Opu, makanya dinamakan MatinroE ri Somba Opu. Digantikan oleh saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi menjadi Mangkau’ di Bone.
21. LA PANAONGI TO PAWAWOI
(1721 – 1724)
Dengan diangkatnya La Panaongi To Pawawoi sebagai Arumpone menggantikan saudaranya, maka telah tiga bersaudara dari isteri La Patau Matanna Tikka yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang yang menjadi Mangkau’ di Bone dan juga Datu di Soppeng. Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Panaongi To Pawawoi dikenal sebagai Arumpone yang berhati jernih dan dicintai oleh rakyatnya.
La Panaongi kawin dengan We Sitti Hawang Daeng Masennang, anak dari To Ujama. Dari perkawinan itu, lahirlah La Page Arung Mampu yang juga sebagai Arung Malolo di Bone. Ketika masih kecil, La Panaongi dipelihara oleh neneknya yang bernama La Pariusi Daeng Manyampa Arung Mampu yang juga sebagai Arung Matowa Wajo MatinroE ri Buluna. Pada saat itulah dia diwariskan oleh neneknya Akkarungeng ri Mampu, Sijelling dan Amali. Oleh karena itu sebelum menjadi Arumpone La Panaongi To Pawawoi telah dikenal sebagai Arung Mampu, Arung Sijelling dan Arung Amali.
Anak La Panaongi To Pawawoi dari isterinya We Sitti Hawang yang bernama La Page Arung Mampu Arung Malolo bi Bone, kawin dengan We Cenra Arung Bakung. Dari perkawinan itu lahirlah dua anak laki-laki, yang pertama bernama La Maddussila Arung Mampu, kedua bernama La Pasampoi Arung Kading.
Kemudian La Page Arung Mampu Arung Malolo di Bone kawin lagi dengan We Saloge Arung Weteng. Dari perkawinan itu, lahirlah; pertama La Mappaware Arung Tompo’bulu, kedua La Mappangara Arung Sinri To Marilaleng Bone Pawelaiye ri SessoE, ketiga We Masi Arung Weteng.
We Masi kawin dengan To Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Dari perlawinannya itu, lahir dua anak laki-laki; pertama bernama La Mappaware Arung Tompo’bulu, kedua La Mappangara Arung Sinri, inilah yang menjadi To Marilaleng Pawelaiye ri SessoE.
La Mappangara Arung Sinri, inilah yang melahirkan Haji Abdul Razak seorang ulama’ besar yang memiliki ilmu agama Islam yang sangat luas saat itu. Untuk lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya, Haji Abdul Razak mengunjungi seorang ulama’ ahli tasauf di Berru yang bernama Haji Kalula (Haji Muhammad Fadael). Tarekat yang dipelajari dari Haji Kalula tersebut adalah Tarekat Khalwatiyah.
Ketika ulama besar Tarekat Khalwatiyah yang bernama Haji Kalula meninggal dunia, digantikanlah oleh Haji Abdul Razak sebagai ulama’ besar (Anre Guru Lompo). Selanjutnya setelah Haji Abdul Razak meninggal dunia, maka Anre Guru Lompo Tarekat Khalwatiyah beralih lagi kepada anaknya yang bernama Haji Abdullah. Ketika Haji Muhammad Abdullah meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1967 M. digantikan lagi oleh anaknya yang bernama Haji Muhammad Saleh Daeng Situru. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama Haji Muhammad Amin Daeng Manaba.
Beralih kepada To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE yang bernama To Tenri, anak dari We Maisuri dengan suaminya Petta Tobala, Petta PakkanynyarangE Jennang Bone. Sementara We Maisuri adalah anak dari We Daompo dengan suaminya La Uncu Arung Paijo.Sedangkan Tobala Petta PakkanynyarangE adalah anak dari Ponggawa DinruE ri Bone. We Daompo dengan Ponggawa DinruE ri Bone bersaudara kandung, keduanya adalah anak dari MatinroE ri Bukaka.
Dalam tahun 1724 M. La Panaongi meletakkan AkkarungengE ri Bone dan Soppeng, digantikan kembali oleh saudaranya dari Luwu yang bernama Batari Toja Daeng Talaga. Dengan demikian, Batari Toja Daeng Talaga menjadi Mangkau’ di Bone untuk kedua kalinya.
22. BATARI TOJA DAENG TALAGA
(1724 – 1749)
Batari Toja Daeng Talaga kembali menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan saudaranya yang bernama La Panaongi To Pawawoi. Disamping kembali menjadi Mangkau’ di Bone, Batari Toja juga kembali menjadi Datu di Luwu dan Soppeng.
Batari Toja kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Oki yang tinggal di Ajattappareng. Akan tetapi La Paulangi Petta Janggo’E sepupu satu kali La Oki mengawinkan dengan anaknya yang bernama We Tungke. Oleh karena itu, Batari Toja membatalkan perkawionannya dengan La Oki. Pada tahun 1716 M. Batari Toja kawin dengan Arung Kaju yasng bernama Daeng Mamutu.
Karena Batari Toja sangat dekat dengan Kompeni Belanda, membuat arung-arung tetangganya banyak yang kurang senang. Oleh karena itu Batari Toja lebih banyak tinggal di Ujungpandang dari pada di Bone. Sementara suaminya Arung Kaju yang diangkat sebagai Maddanreng (wakil) berniat merebut kekuasan isterinya.
Setelah Batari Toja mengetahui maksud jahat dari suaminya itu, iapun segera menceraikan suaminya tersebut. Bahkan mantan suaminya tersebut diusir untuk meninggalkan Bone.
Dalam tahun 1735 M. La Maddukkelleng Arung Peneki yang juga sebagai Sultan Pasir di Kalimantan berniat untuk kembali ke negerinya di Peneki. Tetapi pada saat itu, La Maddukkelleng belum bisa menginjakkan kakinya di wilayah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) karena kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pada saat itu, Wajo masih merupakan wilayah kekuasan Bone yang ditaklukkan pada masa pemerintahan La Tenri Tatta Arung Palakka MaloampeE Gemme’na. Sedangkan La Maddukkelleng meninggalkan Wajo dan lari ke Kalimantan karena memperbuat kesalahan terhadap Bone pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka.
Arung Kaju mantan suami Batari Toja yang diusir untuk meninggalkan Bone, pergi ke Tanah Mandar bersama Karaeng Bonto Langhkasa menunggu kedatangan La Maddukkelleng dari Tanah Pasir Kalimantan. Karaeng Bonto Langkasa juga tidak senang dengan KaraengE ri Gowa karena dinilai sangat dekat dengan Kompeni Belanda sebagaimana Batari Toja. Dengan demikian, Arung Kaju menjalin kerja sama dengan Karaeng Bonto Langkasa dan La Maddukkelleng. Kerja sama tersebut bermaksud untuk melepaskan Wajo dari kekuasan Bone.
Sementara Karaeng Bonto Langkasa ingin menghilangkan pengaruh Kompeni Belanda di Gowa dan Bone, sehingga menjalin kerja sama dengan Arung Kaju Daeng Mamutu yang memang berniat merebut kekuasan dari mantan isterinya Batari Toja Daeng Talaga.
Adapun Arumpone Batari Toja setelah mengetahui bahwa La Maddukkelleng telah mendarat di Wajo, berangkatlah ke Ujungpandang untuk berlindung pada Kompeni Belanda. Diserbulah Bone oleh pasukan La Maddukkelleng, ada juga rombongan Karaeng Bonto Langkasa dan Arung Kaju yang menghasut orang Bone untuk melawan Arumpone.
Setelah membumi hanguskan Bone, La Maddukkelleng meminta kembali – sebbukatina (persembahan) Wajo yang pernah diberikan kepada Bone pada masa pemerintahan Petta To RisompaE. Maka kembalilah Wajo menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Bone. Diangkatlah La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo menggantikan pamannya.
Pergilah La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo ke Gowa untuk memanggil Sitti Napisa Karaeng Langelo We Denradatu saudara KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallawangeng Gau Sultan Abdul Khair untuk diangkat menjadi Arumpone. Akan tetapi ditolak oleh orang Bone, maka pergilah Karaeng Langelo ke Wajo dan tinggal di rumah La Maddukkelleng.
Selain itu datang pula La Oddang Riwu Karaeng Tanete bersama pasukannya bermaksud pula menjadi Arung di Bone. Akan tetapi tidak disetujui oleh Kompeni Belanda dan KaraengE ri Gowa. Juga tidak diterima oleh Adat Bone.
Oleh karena itu dikembalikanlah Batari Toja ke Bone untuk menjadi Arumpone berdasarkan keinginan Arung PituE (Adat) di Bone. Setelah kembali ke Bone, Batari Toja menyuruh Kadhi Bone yang bernama Abdul Rasyid ke Tanah Mandar memanggil La Pamessangi untuk menjadi Arung di Belawa Orai, Alitta dan Suppa yang pernah diusir oleh KaraengE ri Gowa.
Ketika sampai di Mandar, Kadhi Bone Abdul Rasyid menyampaikan kepada La Pamessangi bahwa dia disuruh oleh Arumpone Batari Toja memanggil kembali ke Bone untuk kembali menjadi Arung di Belawa Orai, Suppa dan Alitta. Penyampaian itu dibenarkan oleh Matowa Belawa yang menyertai Kadhi Bone ke Balannipa menemui La Pamessangi.
La Pamessangi kembali ke Bone bersama Kadhi Bone. Ia mendarat di JampuE dan disambut oleh Pabbicara Suppa. Pada sat itu La Pamessangi menyuruh anaknya yang bernama La Sangka untuk tinggal menjadi Datu di Suppa. Setelah bermalam tiga malam di Suppa, datanglah orang Alitta bersama Pabbicara Suppa di Alitta untuk menemuinya. Lalu La Pamessangi menyuruh lagi anaknya yang bernama La Posi untuk menjadi Arung di Alitta. Tiga malam di Alitta baru pergi di Belawa. Setelah bermalam satu malam di Belawa datanglah semua orang Belawa, orang Wattang, orang Timoreng memberi ucapan selamat ditandai dengan pemberian 10 gantang beras untuk satu kampung.
Setelah empat malam di Belawa dikumpulkanlah orang Belawa dan menyampaikan bahwa La Raga yang akan diangkat menjadi Arung di WattangE. Hal ini disetujui oleh orang Belawa, berdirilah MatowaE sambil berkata ; ”Dengarkanlah wahai orang Belawa bahwa La Raga kita angkat sebagai Arung ri Belawa”.
Sesudah diserahkan AkkarungengE ri Belawa kepada La Raga, Petta MatowaE bersama Kadhi Bone melanjutkan perjalanannya ke Bone.
Ketika Batari Toja berusia tua dan kelihatan semakin lemah, Adat bertanya kepadanya tentang siapa nantinya yang bakal menggantikannya untuk melanjutkan pemerintahannya di Bone. Lalu Batari Toja menunjuk saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng Ponggawa Bone. Mendengar itu, Arung Kaju berkata ;Tennakkarungi cera’ TanaE ri Bone, tennatola rajeng akkarungengE ri Bone” (Yang bukan putra mahkota tidak bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, sedangkan Mangkau’E ri Bone tidak bisa digantikan oleh orang yang kebangsawanannya hanya dari ayah).
Karena merasa tersinggung dengan kata-kata Arung Kaju, La Temmassonge’ menunggu Arung Kaju didekat tangga dan menikamnya sehingga meninggal dunia. Kematian Arung Kaju dikomentari oleh Arumpone Batari Toja bahwa lantaran mulutnya Arung Kaju yang mengatakan La Temmassonge’ hanyalah cera’ sehingga dia meninggal dunia.
Dalam tahun 1749 M. Batari Toja Daeng Talaga meninggal dunia di TippuluE sehingga dinamakan MatinroE ri Tippulunna. Kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Temmassonge’ To Appaweling Arung Baringeng.
23. LA TEMMASSONGE TO APPAWELING
(1749 – 1775)
La Temmassonge To Appaweling nama kecilnya adalah La Mappasossong. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga, ia telah menjadi Arung Baringeng dan Ponggawa Bone. Disamping itu ia pernah pula menjadi Tomarilaleng di Bone pada masa pemerintahan Batari Toja.
Dia adalah anak dari La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng Arumpone yang ke 16 yang menggantikan pamannya La Tenri Tatta MalampeE Gemme’na. Menurut garis keturunannya, dia bukanlah putra mahkota ( anak pattola ) karena ibunya bukan-lah Arung Makkunrai (permaisuri). Oleh karena itu La Temassonge' hanyalah dipandang sebagi cera’ rimannessaE – sengngengngi ri mallinrungE. Artinya pada kenyataannya dia adalah anak cera’, tetapi sesungguhnya adalah anak sengngeng (putra mahkota).
Hal ini terjadi karena hanya dua isteri La Patau Matanna Tikka yang diakui sebagai permaisuri, yakni; We Ummung Datu Larompong dari Luwu dan We Mariama Karaeng Patukangang dari Gowa. Sementara ibu La Temmassonge’ walaupun dia adalah keturunan bangsawan tinggi, tetapi tidak termasuk sebagai Arung Makkunrai, sehingga La Temmassonge’ hanya dianggap sebagai cera’.
Tetapi karena putra mahkota sudah tidak ada lagi yang bisa diangkat sebagai Mangkau di Bone pada saat itu, maka pilihan dialihkan kepada La Temmassonge’ untuk diangkat menjadi Mangkau di Bone menggantikan saudaranya Batari Toja Daeng Talaga MatinroE ri Tippulunna. Posisi La Temmassonge’ sebagai cera ri mannessaE – sengngengngi ri mallinrungE , hanya diketahui oleh saudaranya Batari Toja. Dengan demikian, sebelum meninggal dunia, Batari Toja telah berpesan bahwa yang bakal menggantikannya kelak adalah La Temmassonge’ To Appaweling.
Pada saat-saat terakhir Batari Toja dia dirawat oleh La Temmassonge’ karena Batari Toja menganggap bahwa La Temmassonge’adalah saudaranya yang paling dekat.Itulah sebabnya sehingga banyak putra bangsawan Bone yang menganggap bahwa La Temmassonge’ tidak pantas untuk diangkat menjadi Arumpone, terutama keluarga Arung Kaju yang pernah dibunuhnya. Itu pula sebabnya sehingga Akkarungeng La Temmassonge’ di Bone terkatung-katung sejak tahun 1749 M. dan nantilah pada tahun 1752 M. baru dilantik sebagai Arumpone.
Untuk itu La Temmassonge’ minta dukungan Kompeni Belanda di Ujungpandang agar kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone bisa dikukuhkan. Datang pula Arung Berru dan Addatuang Sidenreng meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda di Makassar agar kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone segera dikukuhkan.
Karena desakan Arung Berru dan Addatuang Sidenreng yang bernama To Appo, yang kemudian didukung oleh Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Asmaun, maka para anggota Hadat Bone kembali menerima La Temmassonge sebagai Mangkau’ di Bone, dan dikukuhkan pada tahun 1752 M.
Adapun isteri La Temmassonge’ yang diakui sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah anak dari Maulana Muhammad dengan isterinya. Datu Rappeng. We Mommo Sitti Aisah adalah cucu langsung dari Seikh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.
Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Asmaun masuk ke Bone untuk menenangkan situasi dan setelah semua permasalahan dianggap selesai dan kedudukan La Temmassonge’ sebagai Arumpone dianggap aman, upaya-upaya untuk merebut kekuasan terhadap La Temmassonge’ telah tidak ada, barulah Pembesar Kompeni Belanda membenarkan La Temmassonge’ untuk menetap di Bone.
Disamping sebagai Mangkau’ di Bone, La Temmassonge’ juga dikenal sebagai Datu di Soppeng. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Abdul Razak Jalaluddin. La Temmassonge’ memang dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan sangat patuh dalam beribadah.
La Temmassonge’ dikenal sebagai Mangkau di Bone yang memiliki banyak anak.Dalam catatan terdapat kurang lebih 80 dengan jumlah isteri yang tidak sempat dihitung. Namun isteri yang dianggapnya sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) adalah We Mommo Sitti Aisah cucu dari Tuanta Salamaka ri Gowa.
Adapun anak-anak dari isterinya yang bernama We Mommo Sitti Aisah; La Baloso To Akkaottong, inilah yang menjadi Maddanreng di Bone. La Baloso kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang anak dari saudara perempuan ayahnya. Dari perkawinan La Baloso dengan We Tenriawaru Arung Lempang, lahirlah La Sibengngareng dan inilah yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.
Satu lagi anaknya bernama La Cuwa Arung Lempang, selanjutnya bernama La Balo Ponggawa Pelaiyengi Pattimpa. Berikutnya bernama We Daraima dan We Maukati. Inilah yang kawin dengan La Sau Arung Kalibbong. Selanjutnya bernama We Tenripappa MajjumbaE , inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. La Maddinra Arung Rappeng adalah anak saudara La Baloso yang bernama La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro.dari isterinya yamg bernama We Tenri Ona Arung Rappeng..
Dari perkawinan We Tenripappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng Betti’E lahirlah We Tenri. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau’ Arung Pattojo Ponggawa Bone, We Tenri Pasabbi Arung Rappeng, La Palettei Ponggawa Bone, La Wawo, La Mappajanci, We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, La Massalewe, We Pana dan We Sompa Arung Baleng.
We Tenri Pasabbi Arung Gilireng kawin dengan To Allomo CakkuridiE di Wajo. Dari perkawinan itu lahirlah La Tulu CakkuridiE di Wajo. Berikutnya We Maddilu Arung Bakung, inilah yang kawin dengan La Kuneng Addatuang ri Suppa Arung Belawa Orai. Dari perkawinan itu lahirlah ; We Time Addatuang Sawitto, We Cinde Addatuang Sawitto MatinroE ri Polejiwa, La Cibu Ponggawa Bone Addatuang Sawitto, La Tenri Lengka Datu Suppa, We Maddika atau We Tenri Lippu Daeng Matana Arung Kaju, We Pada Uleng Arung Makkunrai MatinroE ri Sao Denrana dan Muhammad Saleh Arung Sijelling dan sebagai Arung Alitta.
Selanjutnya adik We Maddilu Arung Bakung adalah We Padauleng atau We Tenri Pada , kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo.
Kemudian anak La Temmassonge’ yang merupakan adik dari La Baloso adalah We Pakkemme, inilah yang menjadi Arung Majang. We Pakkemme kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Muanneng Arung Pattiro, anak dari La Pareppai To Sappewali MatinroE ri Somba Opu dengan isterinya yang bernama We Gumittiri.
Berikutnya adik We Pakkemme adalah We Tenri Olle, inilah yang menjadi Datu Bolli. We Tenri Olle kawin dengan La Mappajanci Daeng Massuro Datu Soppeng. Oleh karena itu La Mappajanci disebut juga sebagai PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung. La Mappajanci Datu Soppeng adalah anak dari PajungE ri Luwu yang bernama La Mappassili Arung Pattojo MatinroE ri Duninna.
We Tenri Olle dengan La Mappajanci melahirkan anak yang bernama La Mappapole Onro, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Berikutnya bernama We Tenri Ampareng Arung Lapajung, inilah yang menjadi Datu Soppeng MatinroE ri Barugana.
Adik We Tenri Olle adalah We Rana, inilah yang menjadi Ranreng Towa di Wajo. Kawin dengan La Toto Arung Pallekoreng, anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama I Yabang. Dari perkawinan itu lahirlah Sitti Hudaiya Ranreng Towa Wajo. Inilah yang kawin dengan La Tenri Dolo Arung Telle. Selanjutnya lahir Amirah Ranreng Towa Wajo.
Amirah kawin dengan La Pabeangi Petta TurubelaE anak dari We Tungke MajjumbaE dengan suaminya yang bernama La Cella Patola Wajo. Dari perkawinan Amirah dengan La Pabeangi, lahirlah We Panangareng Arung Tempe Selatan. Selanjutnya La Pawellangi PajumperoE Ranreng Tuwa dan Arung Matowa Wajo.
Selanjutnya adik dari We Rana adalah We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. We Hamidah kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapenning Daeng Makkuling Ponggawa Bone MatinroE ri Tasi’na. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu kawin dengan We Tenri Pada atau We Padauleng anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya We Tenriawaru Arung Lempang. Adik La Tenri Tappu adalah We Yallu Arung Apala. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya La Unru Datu Pattiro, La Mata Esso, We Dende dan We Tenri Kaware Arung Balusu.
Karena We Mommo Sitti Aisah meninggal dunia, maka Arumpone La Temmassonge mengawini adiknya yang bernama Sitti Habiba. Dari perkawinannya itu, lahirlah; La Massarasa Arung Pallengoreng, La Palaguna Arung Nangka dan juga Arung Ugi serta Dulung Awang Tangka. Anak La Palaguna kemudian menjadi Arung Lamatti.
Berikutnya bernama La Patonangi atau La Tone, inilah yang menjadi Arung Amali. La Patonangi kawin dengan We Kamummu Arung Bungkasa. Anak berikutnya berada di Luwu yang bernama La Makkasau Arung Kera juga sebagai Dulung Pitumpanuwa. La Makkasau kawin dengan We Kambo Opu Daeng Patiware anak dari We Tenriwale Daeng Matajang MatinroE ri Limpo Paccing dengan suaminya yang bernama La Tenri Tadang Pallempa Walenrang. Ini adalah cucu dari We Patimana Ware saudara MatinroE ri Tippulunna.
La Makkasau dengan We Kambo Opu Daeng Patiware melahirkan anak ; pertama bernama La Riwu To Paewangi Pallempa Walenrang, kedua bernama La Ewa Opu To Palinrungi, ketiga bernama La Waje Ambo’na Riba Arung Kera Dulung Pitumpanuwa, keempat bernama We Pada Daeng Malele, kelima bernama We Biba Daeng Talebbi.
Semua adik La Makkasau berada di Luwu, kecuali We Seno Datu Citta. We Seno Datu Citta kawin dengan La Maddussila To Appangewa Karaeng Tanete , anak dari We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang Tanete dengan suaminya yang bernama La Mallarangeng To Pasamangi Datu Mario Riwawo juga sebagai Datu Lompulle.
We Seno dengan La Maddussila melahirkan anak ; pertama bernama La Bacuapi , inilah yang menjadi Datu di Citta juga sebagai Dulung Ajangale MatinroEb ri Kananna ri Leangleang pada saat berperangnya Arumpone To Appatunru dengan Inggeris pada tahun 1814. Kedua bernama We Kajao Datu Citta, ketiga bernama We Hatija Arung Paopao.
We Hatija Arung Paopao kawin dengan To Appasawe Arung Berru, anak dari To Appo Arung Berru Addatuang Sidenreng MatinroE ri Sumpang MinangaE dengan isterinya yang bernama We Besse Karaeng Leppangeng. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Sumange’ Rukka Arung Berru masuk ke Bone kawin dengan We Baego Arung Macege anak dari Arumpone yang bernama La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata dengan isterinya yang bernama We Bau Arung Kaju. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Pada Arung Berru.
Saudara We Seno yang bernama We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone, anak dari To Appo Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Panidong Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah Sumange’ Rukka Ambo Pajala. Inilah yang kawin dengan We Tenri Kaware Arung Saolebbi juga sebagai Arung Balosu anak dari La Mappapole Onro Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na.
Sumange’ Rukka Ambo Pajala dengan We Tenri Kaware melahirkan La Passamula BadungE Arung Balosu. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak dari La Unru Datu Soppeng dengan isterinya We Mariyama Mabbaju LotongE. Selanjutnya We Bonga Petta Indo I Lampoko dengan suaminya La Passamula Bau Baso Arung Balosu, inilah yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng.
Saudara La Passamula BadungE yang lain bernama La Patongai, inilah yang menjadi Datu di Pattiro. La Patongai kemudian kawin dengan We Panangareng Datu Lompulle anak dari La Rumpang Megga Dulung Ajangale, juga sebagai Datu Lamuru dan Mario Riwawo.Disamping itu, La Rumpang Megga juga sebagai Karaeng di Tanete.Dari perkawinan We Panangareng dengan La Patongai, lahirlah La Onro Datu Lompulle dan Datu Soppeng MatinroE ri Galung.
La Onro kawin di Wajo dengan We Cecu Arung Ganra yang juga sebagai Arung Belawa, anak dari To Lempeng Arung Singkang yang juga sebagai Datu Soppeng MatinroE ri Larompong. La Onro dengan We Cecu melahirkan anak bernama La Pabeangi Arung Ganra yang kemudian menjadi Sule Datu di Soppeng. Selanjutnya La Pabeangi kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Sitti Zaenab Arung Lapajung yang juga sebagai Datu Soppeng, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo Arung Singkang dengan suaminya La Walinono Datu Botto.
Anak La Onro dengan We Cecu yang lain bernama We Soji Datu Madello. Inilah yang kawin dengan La Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau, anak La Tune Arung Bettempola dengan isterinya yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang. Anak yang lain bernama La Rumpang Datu Pattiro, inilah yang kawin dengan We Bebu Datu Suppa tidak melahirkan anak. Kemudian La Rumpang kawin dengan We Tappa, lahirlah La Makkulawu yang menjadi Ranreng Talotenre.
Selanjutnya La Onro kawin lagi dengan We Dulung, lahirlah La Cube yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan La Sana Arung Lompengeng yang digelar Jenderal Lompengeng.
Anak La Temmassonge’ yang lain dari isterinya yang bernama Sitti Habiba, adalah La Potto Kati Datu Baringeng Ponggawa Bone yang juga sebagai Arung Attang Lamuru. Inilah yang kawin dengan anak Karaeng Agang PancaE dengan Karaeng Popo. Dari perkawinannya itu, lahirlah anaknya; pertama bernama Sitti Hawang Arung Ujung , kedua bernama La Tadampare To Appotase Arung Ujung.
Sitti Hawang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Gau Ambo Pacubbe Arung Tanete. Sedangkan La Tadampare To Appotase kawin dengan Hidayatullah Colli’ PujiE Arung Pancana, anak dari La Rumpang Megga Arung Tanete MatinroE ri Muttiara dengan isterinya yang bernama Sitti Patimah Colli’ PakuE Daeng Tarape.
Dari perkawinan La Tadampare atau La Tenrengeng dengan Colli’ PujiE, lahirlah anak; pertama bernama We Gasi Arung Atakka, kedua bernama La Makkarumpa Arung Ujung , ketiga bernama We Tenri Olle Arung Tanete.
Saudara dari Sitti Hawang yang lain adalah; pertama bernama La Kaseng Arung Raja, kedua bernama La Supu Arung Suli. Selanjutnya We Tenri Olle Arung Tanete kawin dengan La Sangaji Arung Bakke anak dari La Mappatola Arung Bakke dengan isterinya yang bernama We Pada Datu Mario Attassalo. Dari perkawinan La Sangaji Datu Bakke dengan We Tenri Olle Arung Tanete, lahirlah ; pertama We Pancai’tana Bunga WaliE Datu Tanete, kedua bernama We Pattekke Tana Tonra LipuE Arung Lalolang, ketiga bernama La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke.
We Pattekke Tana Arung Lalolang kawin dengan La Mappa Arung Pattojo, anak dari La Sunra Karaeng Cenrapole dengan isterinya yang bernama We Nillang Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Unru Sulewatang Tanete dan We Tenri Aminah.
La Tenri Sessu Rajamuda Datu Bakke kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bube Arung Panincong, anak dari La Malleleang Datu Mario Riawa Attassalo dengan isterinya We Pabuka Arung Panincong. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama Baso Jaya Langkara Datu Tanete, kedua Besse Panincong, ketiga We Canno atau We Suhera Datu Bakke.
La Rajamuda Datu Bakke kawin lagi dengan We Daruma Petta Indo’na Cella. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Mastura Petta Karaeng.
Selanjutnya Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan Sitti Sapiyah anak Arung Letta. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Kasi Daeng Majarungi Puanna La Tenro Ponggawa Bone. Puanna La Tenro kawin dengan We Yabang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajenne, anak dari We Tenri Leleang Datu Luwu MatinroE ri Soreang. Dari perkawinan We Yabang Datu Watu dengan Puanna La Tenro, lahirlah We Muanneng dan La Tatta Petta Ambarala Ambo’ Paggalung.
We Muanneng kawin dengan La Sibengngareng Arung Alitta, anak dari La Posi Arung Alitta dengan isterinya yang bernama We Tenriangka. We Muanneng dengan La Sibengngareng melahirkan anak, yaitu; We Lewa, La Dadda, La Paduppai dan We Nandong.
We Lewa Arung Alitta kawin dengan La Rumanga Karaeng Barang Patola, anak dari We Ninnong Arung Tempe dengan suaminya yang bernama La Patarai Arung Lamunre. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; La Pamessangi Petta Towa. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama E Maragau Daeng Nadi, anak dari La Pawelloi Petta Datu ri JampuE dengan isterinya yang bernama E Kutana. E Maragau dengan Petta Towa melahirkan anak yang bernama We Patima Arung Lerang. Inilah yang kawin dengan La Bode Karaeng Jampu anak dari We Passulle, Addatuang Sawitto dengan suaminya La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone.
We Patima Arung Lerang dengan suaminya La Bode Karaeng Jampu melahirkan anak yang bernama Daeng Rawisa Mabbola SadaE Arung Jampu. Inilah yang kawin dengan I Koso Karaeng Allu. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawelloi. Kemudian La Pawelloi kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Tenri anak dari We Dalaintang dengan suaminya To Sangkawana. Dari perkawinan We Tenri dengan La Pawelloi lahirlah La Parenrengi Bau Ila dan E Siseng Bau Polo.
Adapun La Tatta Petta Ambarala kawin dengan orang Melayu yang bernama Encik Sitti Mainong. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pakkamunri Daeng Patobo. Inilah yang melahirkan La Maddiolo Daeng Pabeta. Selanjutnya La Maddiolo Daeng Pabeta melahirkan Bumihari. Bumihari inilah yang kawin dengan Encik Hatibe Abdullah Saeni. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama Encik Zainul Abidin, Encik Bala, Encik Jauhar Manikam dan Encik Cahaya.
La Pakkamunri Daeng Patobo kawin lagi dan melahirkan La Kangkong Petta Nabba. Inilah yang kawin dengan I Jaleha Daeng Jenne dan melahirkan dua anak laki-laki, pertama bernama Tuan Panji dan yang kedua bernama Encik Padu Salahuddin Daeng Patangnga. Kemudian Daeng Patangnga melahirkan anak satu laki-laki dan dua anak perempuan. Laki-laki bernama Encik Abdul Karim Daeng Pasau dan perempuan bernama masing-masing Encik Kebo dan Encik Innong Daeng Tono.
Selanjutnya La Kasi Puanna La Tenro kawin lagi dengan We Tenri Ona Arung Rappeng anak dari We Senru Arung Rappeng dengan suaminya La Cella Datu Bongngo Arung Gilireng. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Maddinra Arung Rappeng Betti’E. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Pappa MajjumbaE anak dari La Baloso Maddanreng Bone dengan isterinya yang bernama We Tenri Awaru Arung Lempang.
We Tenri Pappa MajjumbaE dengan La Maddinra Arung Rappeng melahirkan anak perempuan yang bernama Qwe Matana Arung Rappeng. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulawu Arung Gilireng anak dari La Canno Arung Gilireng Lampe Uttu dengan isterinya We Mappanyiwi Daeng Takennang Datu Lagosi.
We Matana Arung Rappeng dengan La Makkulawu Arung Gilireng melahirkan anak ; pertama bernama We Bangki Arung Rappeng, kedua bernama La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone, ketiga bernama We Tenri Pasabbi Arung Gilireng, keempat bernama We Nunu Arung Manisang Datu Pammana, kelima La Palettei Ponggawa Bone, keenam We Sampa Arung Baleng, ketujuh bernama La Wawo, kedelapan bernama We Pana, kesembilan bernama La Mappajanci dan kesepuluh bernama La Massalewe.
Kemudian Arumpone La Temmassonge’ kawin lagi dengan We Salima Ajappasele, melahirkan anak perempuan bernama We Nime. Inilah yang kemudian kawin dengan Datu Bengo. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Dekke Daeng Silasa Petta Bekka’E. Kemudian Petta Bekka’E kawin dengan Karaeng SombaE yang kemudian melahirkan La Mapparewe Daeng Makkuling Datu Bengo.
Pada hari Senin 29 Jumadil Akhir 1133 H. Arumpone La Temmassonge’ memperjelas pemberian saudaranya Batari Toja MatinroE ri Tippulunna baik semasa hidupnya maupun setelah meninggal dunia yang dipesankan kepadanya. Setelah itu iapun masuk kepada Kompeni Belanda untuk mempersaksikan pemberian Batari Toja tersebut.
Inilah penjelasan Arumpone La Temmassonge’ ;
” Adapun yang diberikan Batari Toja kepada saya ketika masih hidup, seperti; Baringeng, Amali, Pattiro, PaddakkalaE di Bantaeng, saya diberikan ketika berada di Kessi. Sedangkan yang dipesankan, adalah ; Timurung, Majang, Pallengoreng, Kera, Tuwa, Ugi, Citta, Lapajung,Tellu Latte’ E dan Ta’.
Selanjutnya Tuwa saya serahkan kepada We Rana, Citta saya serahkan kepada We Seno, Majang saya serahkan kepada We Pakkemme’, Pallengoreng saya serahkan kepada La Massarasa, Ugi saya serahkan kepada La Palaguna, Kera saya serahkan kepada La Makkasau, Takalar saya serahkan kepada We Yamida. Sedangkan Timurung dan NakkaE, itulah yang akan saya tempati sampai tiba ajalku. Siapa saja yang merawat saya sewaktu saya sakit, itulah yang akan memilikinya.”
Pada saat menjadi Mangkau’ di Bone, anaknya di Soppeng, di Tanete, di Luwu dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Addatuang ri Lompulle, ditulis dalam lontara’ Bone dan Soppeng bahwa; Bone dan Mario Riwawo tempat lahirnya KadhiE, Lompulle tempat asal SengngengngE, Tanete sumber pas- seajingeng dan Soppeng tempat untuk memilih.
Dalam tahun 1775 M. Arumpone La Temmassonge’ Arung Baringeng meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Dalam khutbah Jumat, dia dinamakan Sultan Abdul Razak Jalaluddin. Karena dia meninggal di Malimongeng, maka digelar MatinroE ri Malimongeng.
24. LA TENRI TAPPU TO APPALIWENG
(1775 – 1812)
La Tenri Tappu To Appaliweng adalah cucu La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng, dari anaknya yang bernama We Hamidah Arung Takalar Petta MatowaE. La Tenri Tappu menggantikan neneknya menjadi Arumpone pada tanggal 4-6- 1775 M.
Arumpone La Tenri Tappu inilah yang berkedudukan di Rompegading, sehingga ketika ia meninggal dunia digelar MatinroE ri Rompegading. Sebagai Arumpone, ia pernah berperang dengan Addatuang Sidenreng yang bernama La Wawo. Persoalannya adalah karena La Wawo akan melepaskan diri dari keterikatannya dengan Bone. La Wawo bertegas tidak akan memberikan lagi – sebbukati yaitu semacam persembahan yang menjadi kewajiban Addatuang Sidenreng.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, berangkatlah orang Bone dibawah komando Arumpone untuk menyerang Sidenreng. Karena merasa terancam, Addatuang Sidenreng La Wawo minta bantuan kepada Karaeng Tanete. La Wawo minta kepada Karaeng Tanete agar Arumpone La Tenri Tappu bersama segenap pasukannya dapat dibendung untuk tidak memasuki wilayah Sidenreng. Addatuang Sidenreng La Wawo menyanggupi untuk menyediakan –ubba yaitu semacam bahan peledak kepada Karaeng Tanete dalam membendung serangan Bone.
Setelah bermusuhan kurang lebih tiga tahun, ternyata orang Bone tidak mampu untuk melewati Sungai Segeri karena dibendung oleh orang Tanete dengan bantuan Petta TollaowE ri Segeri.
Untuk mencegah terjadinya perang yang berkerpanjangan, Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang segera turun tangan. Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Yacobson Wilbey mengingatkan kepada Arumpone La Tenri Tappu untuk mundur ke Bone. Begitu pula kepada Addatuang Sidenreng La Wawo agar menarik pasukannya kembali ke Sidenreng. Dengan demikian, perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir.
Ketika perang antara Bone dengan Sidenreng berakhir, datanglah La Wawo kepada Karaeng Tanete membawa 40 orang Batu Lappa dan 20 orang Kasa sebagai pengganti harga ubba yang digunakan Karaeng Tanete selama perang. Dalam masa pemerintahan La Tenri Tappu di Bone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda tahun 1814 M.
La Tenri Tappu To Appaliweng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Padauleng untuk dijadikan sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. We Padauleng adalah anak dari La Baloso, saudara ibunya dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Arung Lempang.
We Padauleng dengan La Tenri Tappu melahirkan anak; pertama bernama La Mappasessu To Appatunru, inilah yang kemudian menjadi Mangkau’ di Bone, kedua bernama We Manneng Arung Data, ketiga bernama Batara Tungke Arung Timurung, keempat bernama La Pawawoi Arung Sumaling, kelima bernama La Mappaseling Arung Panynyili, keenam bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara, ketujuh bernama We Kalaru Arung Pallengoreng, kedelapan bernama Mamuncaragi, kesembilan bernama La Tenri Bali Arung Ta’, kesepuluh bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kesebelas bernama La Paremma’ Rukka Arung Karella, kedua belas bernama La Temmu Page Arung Paroto Ponggawa Bone MatinroE ri Alau Appasareng, ketiga belas bernama La Pattuppu Batu Arung Tonra.
La Mappasessu To Appatunru kawin dengan We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah; We Baego Arung Macege. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kali ibunya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Selanjutnya dari perkawinan We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai, lahirlah; We Pada Arung Berru dan Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
Adapun La Tenri Sukki Arung Kajuara To Malompo di Bone, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana Arung Kaju. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Daeng Matana adalah anak dari We Maddilu saudara kandung We Padauleng Arung Makkunrai di Bone.
Sedangkan La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung Bone, kawin dengan We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari We Mudariyah MappalakaE Ranreng Talotenre dengan suaminya yang bernama La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinan Bau Cina dengan Petta Anre Guru AnakarungE ; pertama bernama La Parenrengi Arung Ugi. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru atau Pancai’tana Besse Kajuara anak dari We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana dengan suaminya yang bernama La Tenri Sukki Arung Kajuara.
Adik dari La Parenrengi bernama Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone yang juga sebagai Ranreng Talotenre Wajo. Selanjutnya adik dari Toancalo bernama Sitti Saira Arung Lompu. Adik berikutnya bernama We Rukka, We Ciciba. We Ciciba inilah yang kawin dengan La Pangerang Arung Cimpu.
Kembali kepada saudara perempuan La Tenri Tappu yang bernama We Yallu Arung Apala. Inilah yang melahirkan Datu Pattiro, Datu Soppeng MatinroE ri Tengngana Soppeng dengan suaminya yang bernama La Mappapole Onre Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Anak berikutnya bernama La Mata Esso Sule Datu di Soppeng MatinroE ri Lawelareng. Selanjutnya bernama We Tenri Kaware Arung Saolebbi Arung Balosu. Selanjutnya We Dende, meninggal dunia ketika masih kecil.
La Unru Datu Pattiro kawin dengan We Selima Mabbaju NyilaE anak dari We Mariyama Mabbaju LotongE dengan suaminya yang bernama La Pede Daeng Mabela Pabbicara Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke, kedua bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko.
Baso Sidenreng Petta Ambo’na Salengke kawin dengan We Waru, kemudian We Kacici. Keduanya adalah anak dari La Patau Petta Janggo Arung Leworeng. Dari perkawinan dengan We Waru lahirlah; pertama bernama We Nibu, kedua bernama La Salengke. Selanjutnya We Kacici melahirkan anak; pertama bernama La Palloge, kedua bernama We Jenna, ketiga bernama We Takka.
Sedangkan We Tenri Kaware Arung Balosu kawin dengan Sumange’ Rukka Ambo’ Pajala Arung Tanete anak We Soji Arung Tanete dengan suaminya yang bernama La Makkawaru Arung Atakka Tomarilaleng Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah dua anak laki-laki; pertama bernama La Patongai Datu Pattiro, kedua bernama La Passamula BadungE.
La Patongai Datu Pattiro kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Panangareng Datu Lompulle, anak dari We Pancai’tana Arung Akkampeng dengan suaminya yang bernama La Rumpang Megga Karaeng Tanete. We Panangareng dengan La Patongai melahirkan anak bernama La Onro Datu Lompulle.
La Passamula BadungE kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga Petta Indo’na I Lampoko. Dari perkawinan itu lahirlah anaknya; pertama bernama Bau Baso Arung Balosu, inilah yang menjadi Sule Datu di Soppeng. Kedua bernama Sitti Hawang, ketiga bernama We Mira.
Bau Baso Arung Balosu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta anak Baso Sidenreng dengan isterinya We Waru. Dari perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama We Matta, kedua bernama Mahmud Petta Bau, ketiga bernama We Besse.
Sitti Hawang kawin dengan La Cakkudu Petta Amparita, anak La Panguriseng Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Bangki Arung Rappeng. We Sitti Hawang dengan La Cakkudu melahirkan anak bernama La Pasanrangi Datu Taru.
We Taka kawin dengan La Sanreseng Datu Lamuru, anak dari Jaya Langkara Datu Lamuru dengan isterinya yang bernama We Tellongeng. Dari perkawinan itu lahirlah We Sengngeng. Inilah yang kawin dengan La Sana Arung Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya yang bernama We Bonga. We Sengngeng dengan La Sana melahirkan anak bernama We Yasiyah. We Yasiyah inilah yang kawin dengan La Coppo Daeng Mangottong, anak dari La Massikkireng Arung Macege dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Arung Pallengoreng.
We Jenna kawin dengan La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenre Arung Matowa Wajo MatinroE ri Batubatu. Anak dari La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre dengan isterinya Besse Arawang. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mappe Datu Mario Riawa. Kemudian La Mappe kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Besse anak Sule DatuE Arung Balosu dengan isterinya yang bernama We Nebu Petta Indo’na Matta. Selanjutnya We Besse dengan La Mappe melahirkan anak perempuan yang bernama Isa Arung Padali.
We Matta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Pasanrangi Datu Taru, anak dari Sitti Hawang dengan suaminya La Cakkudu Petta Amparita. Kemudian We Matta dengan La Pasanrangi melahirkan anak ; pertama bernama La Bandu, kedua bernama We Selo. We Selo kawin dengan La Jojjo Arung Berru Karaeng Lembang Parang, anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya La Mahmud Karaeng ri Baroanging. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenri.
La Onro Datu Lompulle kawin dengan We Cecu Arung Ganra yang juga Arung Belawa Orai. Anak dari We Sitti Tahirah Patola Wajo dengan suaminya To Lempeng Arung Singkang yang juga Datu Soppeng Rialau. Kemudian We Cecu dengan La Onro melahirkan anak ; pertama bernama We Soji Datu Madello, kedua bernama La Pabeangi Arung Ganra, ketiga bernama La Rumpang Datu Pattiro Ranreng Talotenre.
We Soji Datu Madello kawin dengan Loa Tengko Manciji Wajo Arung Belawa Alau anak dari La Tune Arung Bettempola dengan isterinya Sompa Ritimo Arung Penrang. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Cella, kedua bernama We Tenri Arung Belawa , ketiga bernama We Panangareng Datu Madello, keempat bernama La Patongai Datu Doping.
La Pabeangi Arung Ganra kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Sui Datu Watu Arung Lapajung Patola Wajo, anak dari We Mappanyiwi Patola Wajo dengan suaminya yang bernama La Walinono Datu Botto. We Tenri Sui dengan La Pabeangi melahirkan anak; pertama bernama La Wana Arung Ganra, kedua bernama La Jemma Datu Lapasung, ketiga bernama We Yaddi Luwu Datu Watu, keempat bernama Sitti Tahira Patola Wajo Datu MallanroE. Sitti Tahira inilah yang kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama La Bandu, tidak melahirkan anak.
La Wana kawin dengan sepupu tiga kalinya yang bernama Isa Arung Padali anak dari La Mappe dengan isterinya yang bernama We Besse. Kemudian La Mappe kawin lagi dengan We Cingkang anak dari La Jalante Jenderal Tempe. Dari perkawinannya itu lahirlah La Mori. Selanjutnya Isa dengan La Wana Arung Ganra melahirkan anak; pertama bernama La Walinono Arung Laleng Bata, kedua bernama We Tenri Dio Datu Lompulle, ketiga bernama Galette, keempat bernama Abu Baedah.
We Yaddi Luwu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona Datu Mario Riwawo anak dari La Wawo Datu Botto dengan isterinya yang bernama We Tenri Leleang Datu Mario Riwawo. We Yaddi Luwu dengan La Mangkona melahirkan anak; pertama bernama La Sade, kedua bernama We Tenriabeng, ketiga bernama We Tenriangka, keempat bernama We Cecu, kelima bernama We Tenri Pakkemme’.
La Onro Datu Lompulle kawin lagi dengan We Dulung, melahirkan seorang anak bernama La Cube. Inilah yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung. La Cube kawin dengan We Munde saudara perempuan Jenderal Lompengeng, anak dari La Page Arung Lompengeng dengan isterinya We Bonga. Dari perkawinan La Cube dengan We Munde ; pertama bernama La Singke, kedua bernama We Sukki, ketiga bernama Sitti Saleha, keempat bernama La Mahmud.
La Rumpang kawin lagi dengan We Tappa dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Makkulawu.
Sampai disinilah keterangan tentang keturunan We Yallu Arung Apala yang bersaudara kandung dengan We Banrigau Arung Tajong. We Banrigau Arung Tajong kawin dengan La Tenriangka Arung Ujung anak dari Tomarilaleng Pawelaiye ri Gowa dengan isterinya yang bernama Sitti Aminah Karaeng Somba Opu yang juga Karaeng Tallo. Perkawinannya itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Tenri Wari.
Kemudian We Banrigau Arung Tajong kawin lagi di Wajo dengan La Sampenne Petta La Battowa CakkuridiE ri Wajo yang juga sebagai Arung Liu. Anak dari La Paulangi To Saddapotto Daeng Lebbi Arung Bette dengan isterinya We Tenri Ampa Arung Singkang. We Banrigau dengan Petta La Battowa melahirkan anak; pertama bernama We Sawe Arung Liu, kedua bernama La Olli Maddanreng Bone, ketiga bernama We Sikati Andi Ecce
We Sikati kawin dengan La Sampo Arung Ugi yang juga sebagai Arung Belawa. Anak dari La Mampulana Arung Ugi dengan isterinya yang bernama We Bakke Datu Kawerang. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama We Busa Petta WaluE Arung Belawa, kedua bernama La Rappe Arung Liu Arung Ugi yang juga Maddanreng di Bone dan Sule Ranreng Tuwa ketika sepupu satu kalinya yang bernama We Hudiyah menjadi Ranreng Tuwa. Ketiga bernama La Maggalatung Daeng PaliE Arung Palippu.
We Busa Arung Belawa kawin dengan La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo. Anak dari La Sengngeng Arung Bettempola MatinroE ri Salawa’na dengan isterinya We Mappangideng Arung Macanang. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Kalaru Arung Bettempola, kedua bernama La Paramata atau La Tatta Raja Dewa Arung Bettempola, ketiga bernama La Tune Mangkau atau La Tune Sangiang Arung Bettempola MatinroE ri Tancung.
We Kalaru kawin dengan La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre, anak dari We Mudariyah MappalakaE dengan suaminya La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama laki-laki bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE Datu Alau Wajo dan juga sebagai Arung Palippu.
La Rappe Arung Liu kawin dengan We Besse Daeng Taleba Arung Penrang anak dari We Jiba Datu Bulu Bangi dengan suaminya La Saliwu Petta KampongE Arung Atakka. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Sompa Ritimo Arung Penrang MatinroE ri Cinnong Tabi. Kemudian Sompa Ritimo kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tune Mangkau Arung Bettempola. Anak dari We Busa Petta WaluE dengan suaminya La Tompi Arung Bettempola MatinroE ri Wajo.
Sompa Ritimo dengan La Tune Sangiang melahirkan anak yang bernama La Gau, inilah yang kemudian mejadi Ranreng di Bettempola Wajo. La Gau kemudian kawin dengan We Tenri Sampeang Denra WaliE Arung Patila. Anak dari We Baru Arung Patila dengan suaminya yang bernama La Saddapotto Maddanreng Pammana. Kemudian La Gau dengan We Tenri Sampeang melahirkan anak yang bernama La Jamarro, inilah yang kemudian menjadi Paddanreng Bettempola. Anak berikutnya adalah La Cengke Manciji Wajo, La Tengko Arung Belawa Alau, juga sebagai Manciji Wajo, La Jollo Datu Patila, La Mamu Petta Yugi, La Come, We Gallo Arung Liu,
We Gallo Arung Liu, kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mangkona To Rao PajumpungaE, tidak ada anaknya. Kemudian PajumpungaE kawin lagi dengan sepupu satu ayahnya yang bernama We Nyili’timo Arung Baranti, anak dari La Panguriseng .
Arumpone La Tenri Tappu yang tempat tinggalnya Rompegading dan Bone secara bergantian. Pada tahun 1812 M. ia meninggal dunia di Rompegading, maka dinamakanlah MatinroE ri Rompegading. La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo MatinroE ri Rompegading digantikan oleh anaknya yang bernama La Mappasessu To Appatunru sebagai Mangkau’ di Bone.
25. LA MAPPASESSU TO APPATUNRU
(1812 – 1823)
La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka menggantikan ayahnya menjadi Mangkau’ di Bone pada tahun 1812 M. Namun pelantikannya nanti pada tahun 1814 M. La Mappasessu To Appatunru dikenal banyak bersaudara, anak dari La Tenri Tappu To Appaliweng MatinroE ri Rompegading dengan isterinya We Padauleng MatinroE ri Sao Denrana.
Pada saat menjadi Arumpone, Inggeris masuk memerintah menggantikan Belanda. Inggerislah yang menyuruh Arung Mampu yang bernama Daeng Riboko untuk mengambil SudengE dan segenap benda Kerajaan Gowa yang selama ini dipegang oleh Arumpone. Tetapi Arumpone tetap mempertahankan segenap milik ArajangE ri Gowa karena memang Arumpone punya niat untuk menjadi Arung di Gowa. Baik Arumpone La Tenri Tappu maupun La Mappasessu anaknya, merasa memiliki hak untuk menjadi Karaeng di Gowa karena memang adalah cucu dari KaraengE ri Gowa MatinroE ri Somba Opu. Apalagi banyak sekali orang Gowa yang tinggal di pegunungan yang menyerahkan diri.
Oleh karena itu, Arumpone La Mappasessu berkeras untuk menjadi Karaeng ri Gowa. Pada saat itu belum ada yang jelas tentang Karaeng di Gowa. Bagi orang Gowa beranggapan bahwa siapa saja yang memegang benda –benda Arajang, itulah yang dianggap sebagai Karaeng ri Gowa. Walaupun telah dilantik sebagai Karaeng, tetapi tidak memiliki benda-benda ArajangE ri Gowa, maka tidak bisa memerintah di Gowa
Pembesar Inggeris yang bernama Residen Philips menyuruh kepada Arung Mampu Daeng Riboko pergi menemui Arumpone untuk minta agar benda-benda Kerajaan Gowa yang disimpan oleh Arumpone La Tenri Tappu pada masa hidupnya dikembalikan ke Gowa. Tetapi Arumpone La Mappasessu tetap mempertahankan untuk tidak memberikan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa tersebut.
Karena Pembesar Inggeris merasa tidak dipatuhi, maka direncanakanlah untuk menyerang Bone. Arumpone saat itu berkedudukan di Rompegading dan Inggeris melakukan serangan kepada Arumpone. Karena persenjataan Inggeris jauh lebih kuat, maka pada akhirnya Arumpone kalah setelah Rompegading dibumi hanguskan. Arumpone La Mappasessu serta seluruh keluarganya kembali ke Bone dan berkedudukan di Laleng Bata. Adapun SudengE serta segenap benda-benda Kerajaan Gowa, Arumpone menyerahkan kepada Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na. Selanjutnya Datu Soppeng MatinroE ri Amala’na yang memberikan kepada Arung Mampu untuk dilanjutkan kepada Kompeni Inggeris.
Pada tanggal 4 Juni 1814 M. Kompeni Inggeris menyerahkan SudengE dan segenap benda-benda Kerajaan Gowa kepada Bate SalapangE ri Gowa . Jenderal Perang Inggeris yang menyerang Rompegading bernama Tuan Nightingale. Dalam tahun 1816 M. Gubernur Jenderal Belanda kembali memerintah.
Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Mappasessu To Appatunru disebut sebagai Sultan Muhammad Ismail Mukhtajuddin. Inilah Arumpone yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama We Bau Arung Kaju, anak dari We Rukiyah dengan suaminya yang bernama La Umpu Arung Teko. Dari perkawinannya itu lahirlah anak perempuannya yang bernama We Baego yang kemudian menjadi Arung Macege. Dalam tahun 1823 M. Arumpone La Mappasessu To Appatunru meninggal dunia di Laleng Bata dan dinamakanlah MatinroE ri Laleng Bata.
We Baego Arung Macege kawin di Berru dengan Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Anak dari Arung Berru To Appasawe dengan isterinya yang bernama We Hatija Arung Paopao. We Hatija Arung Paopao adalah anak La Maddussila Karaeng Tanete dengan isterinya yang bernama We Seno Datu Citta. We Baego Arung Macege dengan Sumange’ Rukka To Patarai melahirkan ; pertama bernama We Pada Arung Berru, kedua bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
We Pada Arung Berru kawin di Gowa dengan I Mallingkaang Karaeng Katangka. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama I Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, kedua bernama I Topatarai Karaeng Pabbundukang. Ketiga bernama I Togellangi Karaeng Silajo, keempat bernama We Batari Daeng Marennu Arung Berru, kelima bernama We Bau , keenam bernama We Biba Karaeng Bonto Masuji, ketujuh bernama Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, kedelapan bernama Butta Intang Karaeng Mandalle, kesembilan bernama I Mangiruru Daeng Mangemba Karaeng Manjalling, kesepuluh bernama We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete, kesebelas bernama Sitti Haja Daeng Risanga, kedua belas bernama Sitti Rugaiya Karaeng Langelo, ketiga belas bernama I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo.
Kembali kepada La Makkulawu Daeng Parani Karaeng Lembang Parang. Inilah yang menjadi Karaeng ri Gowa. La Makkulawu Daeng Parani kawin di Alitta dengan We Tenri Paddanreng atau We Bunga Singkeru’ anak La Parenrengi Arumpone MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya yang bernama We Tenriawaru Besse Kajuara Arumpone MatinroE ri Majennang Suppa. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Petta Alitta, kedua bernama La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa.
La Panguriseng Petta Alitta kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung. Anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya I Mahmud Karaeng Baroanging. La Panguriseng dengan We Seno melahirkan anak; pertama bernama We Cella Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi
La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddilu Karaeng Bonto Masuji anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggimae. Namun tidak melahirkan anak dan We Maddilu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi dengan We Batasi anak Gallarang Tombolo Bate SalapangE ri Gowa dengan isterinya yang bernama I Cikopo. Dari perkawinan yang kedua itu lahirlah La Pangerang Arung Macege. Selanjutnya La Mappanyukki kawin lagi di Massepe dengan We Besse Petta Bulo anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya yang bernama We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinannya yang ketiga itu lahirlah; Abdullah Bau Massepe, We Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi dan terakhir bernama We Bulaeng.
Karena Besse Bulo meninggal dunia, maka La Mappanyukki kawin lagi dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Manenne Karaeng Balangsari anak dari I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo dengan isterinya yang bernama I Nako Karaeng Panakukang. Dari perkawinannya itu, lahirlah; We Tenri Pada Karaeng Lakiung, kedua bernama We Saripa Karaeng Pasi.
I Mallingkaang Karaeng Riburane di Wajo kawin dengan We Ninnong Ranreng Tuwa Wajo anak dari La Mappanyompa Ranreng Tuwa Wajo Arung Ujung dengan isterinya yang bernama We Dala Tongeng Arung Tempe. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Manawara Besse Tempe, kedua bernama Baharuddin Bau Akkotengeng Karaeng Mandalle, ketiga bernama Mahmud, keempat bernama We Mudariah Karaeng Balangsari, kelima bernama Hasan Karaeng Riburane, keenam bernama Sulaeman.
I Sugiratu Andi Baloto kawin dengan La Parenrengi Karaeng Tinggimae anak dari I Manggabarani Karaeng Mangeppe Arung Matowa Wajo dengan isterinya We Dala Wettoeng Karaeng Kanjenne. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama We Maddilu Daeng Bau, kedua bernama We Seno Karaeng Lakiung.
We Maddilu kawin dengan La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa, tidak melahirkan anak. Selanjutnya We Seno kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Kumala Karaeng Cenrapole. Kemudian I Magguliga Andi Bangkung kawin dengan We Patima Banri atau We Banri Gau Arung Timurung anak Singkeru’ Rukka Arung Palakka Arumpone MatinroE ri Topaccing dengan isterinya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu.Selanjutnya We Banri Gau dengan I Magguliga Karaeng Popo melahirkan anak bernama We Sutera Arung Apala, meninggal dunia diwaktu masih kecil. Kemudian Karaeng Popo kawin dengan I Nako Karaeng Panakukang anak dari I Mappatunru Karaeng Riburane dengan isterinya I Patimasang Daeng Ngasseng.
Karaeng Popo dengan I Nako melahirkan anak bernama I Manenne Karaeng Balangsari Arung Makkunrai ri Bone yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Mappanyukki.
We Batari Daeng Marennu kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Mahmud Karaeng ri Baroanging anak dari I Manginyareng Karaeng Lembang Parang dengan isterinya I Woja Karaeng Balangsari. Dari perkawinan itu lahirlah; pertama bernama I Jojjo Kalamullahi Karaeng Lembang Parang Arung Berru, kedua bernama I Kumala Karaeng Cenrapole, ketiga bernama We Seno Karaeng Lakiung, keempat bernama I Sari Banong Karaeng Tanete Arung Berru, kelima bernama I Malingkaang Karaeng Riburane.
I Jojjo Kalamullahi kawin dengan We Ica Arung Manisang anak dari La Saddapotto Addatuang Sidenreng dengan isterinya We Beda Addatuang Sawitto. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anaknya yang bernama La Saddapotto. Kemudian I Jojjo Kalamullahi kawin lagi di Soppeng dengan We Selo anak dari La Pasanrangi Datu Taru dengan isterinya yang bernama We Matta. Dari perkawinannya itu melahirkan anak yang bernama We Tenri.
I Kumala Karaeng Cenrapole kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari I Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae. Dari perkawinan itu lahirlah ; pertama bernama I Manggabarani, kedua bernama Singkeru’ Rukka, ketiga bernama Sumange’ Rukka Karaeng Mangeppe Arung Berru dan satu bernama We Oja, meninggal diwaktu kecil.
We Seno Karaeng Lakiung kawin dengan La Panguriseng Petta Alitta anak dari I Makkulawu KaraengaE ri Gowa dengan isterinya We Cella Arung Alitta.
I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo kawin dengan We Kunjung Karaeng Tanatana anak dari I Nyulla Daeng Tappa Manyoro Attabone dengan isterinya We Patimasang, cucu Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Dari perkawinannya itu lahirlah; pertama bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Kedua seorang perempuan bernama I Maisa Karaeng Rappocini dan ketiga seorang perempuan bernama I Patimasang Karaeng Panaikang.
I Mangimangi Daeng Matutu sewaktu dilantik sebagai Somba atau Karaeng ri Gowa –ripasekkori lalla sipuwe pada tanggal 4 Januari 1937 ketika Tuan Boslaar sebagai Pembesar Kompeni di Ujungpandang. Datang semua TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenrempulu, Cappa GalaE. Datang juga Sultan Butung.
La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang kawin dengan Daeng Tuji. Kawin juga dengan Daeng Ngai. Inilah Karaeng ri Gowa dan Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta.
Sampai disinilah catatan tentang keturunan Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Adapun yang menggantikan sebagai Mangkau’ di Bone adalah saudara perempuannya yang bernama I Manneng Arung Data.
26. I MANNENG ARUNG DATA
(1823 – 1835)
I Manneng Arung Data menggantikan saudaranya MatinroE ri Laleng Bata menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat nama I Manneng Arung Data dikenal dengan sebutan Sultanah Salimah Rajiyatuddin. Dalam tahun 1824 M. pada masa pemerintahannya di Bone, Belanda kembali memerintah.
Pembesar Kompeni Belanda mengajak kepada Arumpone untuk meperbaharui Perjanjian Bungaya , yaitu perjanjian antara La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na dengan Kompeni Belanda untuk bekerja sama dalam pemerintahan.
Arumpone I Manneng Arung Data dikenal sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam, sehingga dia memperdalam yang namanya ilmu tasauf. Untuk itu ia diberikan wilayah oleh gurunya yang bernama Seikh Ahmad yang menundukkan Tambora yang digelar Alif Putih. Oleh karena itu I Manneng Arung Data bertegas untuk tidak akan mengulangi Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Gubernur Belanda menyerang Bone pada tahun 1825 M. Dan nanti pada tanggal 7 Agustus 1825 M. baru terjadi kesepakatan antara Bone dengan Gowa untuk menjadi Bond Gnoshap dengan Belanda sebagai realisasi Pembaharuan Perjanjian Bungaya.
Arumpone I Manneng Arung Data dikenal tidak memiliki anak karena tidak pernah menikah. Ia meninggal dalam tahun 1835 M. dan dinamakan MatinroE ri Kessi. Selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bernama La Mappaseling Arung Panynyili.
27. LA MAPPASELING ARUNG PANYNYILI
(1835 – 1845)
La Mappaseling Arung Panynyili menggantikan saudaranya I Manneng Arung Data MatinroE ri Kessi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Adam Najamuddin. Adapun yang menjadi penengah untuk mendamaikan kembali Bone dengan Gubernur Belanda, adalah La Mappangara Arung Sinri, anak dari We Masi Arung Weteng dengan suaminya yang bernama To Tenri Tomarilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE.
La Mappangara menggantikan ayahnya menjadi Tomarilaleng ri Bone dan setelah meninggal dunia, dinamakanlah PawelaiyE ri SessoE. Ketika La Mappangara menjadi Tomarilaleng di Bone, terjalinlah kembali persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda yang pernah terputus. Pada tanggal 13 Agustus 1835 M. diperbaharuilah perjanjian yang pernah disepakati oleh Petta To RisompaE dengan Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang.
Dalam tahun 1838 M. Arumpone La Mappaseling bersama TomarilalengE Arung Sinri berangkat ke Ujungpandang untuk menemui Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres guna mempererat hubungan Bone dengan Kompeni Belanda.
La Mappangara Arung Sinri Tomarilaleng Bone yang kawin dengan saudara perempuan Arumpone yang bernama We Kalaru Arung Pallengoreng. Dari perkawinannya itu, tidak melahirkan anak. Begitu pula Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili, juga tidak memiliki Arung Makkunrai (permaisuri) yang melahirkan anak.
Dalam tahun 1845 M. Arumpone La Mappaseling Arung Panynyili meninggal dunia dan dinamakanlah MatinroE ri Salassana. Dengan demikian, para Hadat Bone bermusyawarah untuk menentukan pengganti Arumpone. Setelah terjadi berbagai pertimbangan, maka disepakatilah La Parenrengi Arung Ugi menggantikan pamannya sebagai Mangkau’ di Bone.
28.LA PARENRENGI ARUNG UGI
(1845 – 1857)
La Parenrengi sebagai Arung Lompu menggantikan pamannya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Mangkau’ di Bone. La Parenrengi adalah anak dari La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone saudara kandung dengan MatinroE ri Salassana. Sedangkan ibunya bernama We Tabacina atau Bau Cina Karaeng Kanjenne anak dari La Pasanrangi Petta CambangE Arung Malolo Sidenreng.
Anak MappalakaE dengan Petta CambangE, adalah ; pertama bernama La Patongai Datu Lompulle Ranreng Talotenre. Inilah yang dipersiapkan menjadi Addatuang Sidenreng, akan tetapi Petta CambangE berperang dengan saudaranya yang bernama La Panguriseng sehingga kedudukan tersebut direbut oleh La Panguriseng. Anak yang kedua bernama La Unru Arung Ujung, ketiga bernama We Tabacina Karaeng Kanjenne dan yang keempt bernama We Batari, meninggal diwaktu kecil.
We Tabacina kawin dengan La Mappaewa Arung Lompu To Malompo ri Bone. Dari perkawinannya itu lahirlah La Parenrengi. Inilah yang disepakati oleh Hadat Tujuh Bone untuk diangkat menjadi Arumpone. Anak MappalakaE dengan Petta CambangE berikutnya, adalah; Toancalo Arung Amali Tomarilaleng Bone Ranreng juga di Talotenre. Berikutnya bernama We Rukiyah dan berikutnya lagi bernama Sitti Saira Arung Lompu.
Sitti Saira kawin dengan anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka MatinroE ri Topaccing. Dari perkawinannya itu lahirlah We Patima Banri Arung Timurung.
La Parenrengi Arung Ugi yang telah diangkat menjadi Arumpone dan masih tetap didampingi oleh pamannya yang bernama La Mappangara Arung Sinri. Dalam khutbah Jumat nama Arumpone La Parenrengi disebut sebagai Sultan Ahmad Saleh Mahyuddin. La Mappangara Arung Sinri masih tetap berjasa dalam memperbaiki hubungan antara Bone dengan Kompeni Belanda.
Karena jasa-jasa La Mappangara Arung Sinri sehingga Kompeni Belanda benar-benar memperlihatkan perhatiannya dalam menjalin kerja sama dengan Arumpone.Pembesar Kompeni Belanda yang ada di Ujungpandang sengaja masuk ke Bone sebagai tanda bahwa Bone dengan Kompeni Belanda bersahabat yang dimulai dari MatinroE ri Salassana.
Ketika Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres masuk ke Bone pada tahun 1846 M. Arumpone La Parenrengi menjemput dan menerimanya dengan baik. Namun tidak seorangpun yang menduga bahwa persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda akan mengalami masalah. Seperti kata orang tua bahwa sedangkan piring satu tempat bisa saling berbenturan, walaupun tidak ada yang menggoyangkannya.Begitu pula Arumpone La Parenrengi dengan Kompeni Belanda, persahabatan yang begitu akrab, tiba-tiba saja merenggang.
Karena La Mappangara Tomarilaleng Bone mengambil jalan pintas yaitu untuk minta kepada Arumpone agar dirinya dapat diberhentikan sebagai Tomarilaleng. Permintaan itu dipenuhi oleh Arumpone La Parenrengi dengan pertimbangan bahwa pamannya itumemang sudah tua dan ingin istirahat.
Dalam tahun 1849 M. setelah tugasnya sebagai Tomarilaleng Bone dilepaskannya, maka naiklah ke Ujungpandang untuk minta perlindungan kepada Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan de Peres. Kepada Arung Sinri Pembesar Kompeni Belanda menunjukkan tempat yang baik untuk ditempati, yaitu Marus. Setelah kesepakatan antara Arung Sinri dengan Pembesar Kompeni Belanda selesai dan Arung Sinri setuju untuk tinggal di Marus, maka kembalilah ke Bone mengumpulkan semua barang-barangnya dan segenap keluarganya untuk dibawa ke Ujungpandang.
Setelah semua barang-barangnya selesai dikemas dan segenap keluarganya yang akan mengikutinya dipersiapkan, La Mappangara Arung Sinri minta izin kepada kemanakannya Arumpone untuk berangkat ke Ujungpandang. Arumpone La Parenrengi melepas kepergian pamannya diikuti oleh beberapa keluarganya. Arung Sinri bersama rombongannya berjalan menelusuri hutan, melewati Lappariaja akhirnya sampai di padang yang luas di Maros, di tempat yang telah ditunjukkan oleh Pembesar Kompeni Belanda, yaitu tempat yang bernama SessoE.
Di tempat itulah Arung Sinri dengan seluruh pengikutnya singgah dan menetap. Kepada pengikutnya dibagikan tanah untuk digarap sebagai sumber penghidupan dengan keluarganya.
Arung Sinri yang dikenal sangat patuh dalam melaksanakan syariat Islam, maka iapun merasa tenang dan aman dalam beribadah ditempatnya yang baru itu. Beberapa saat kemudian Arung Sinri memilih suatu tarekat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu tarekat khalwatiyah. Pergilah ke Barru menemui seorang ulama’ yang bernama Haji Kalula. Inilah yang membimbingnya untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam yang dianutnya. Anak cucunyalah secara turun temurun yang menjadi Pangulu Lompo tarekat Khalwatiyah itu.
Pada tanggal 16 Februari 1857 M. Arumpone La Parenrengi meninggal dunia di Ajang Benteng. Oleh karena itu dinamakanlah MatinroE ri Ajang Benteng. Selanjutnya digantikan oleh janda sepupu satu kalinya yang bernama We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
29. WE TENRIAWARU PANCAI’TANA BESSE KAJUARA
(1857 – 1860)
Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin. Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.
La Mappawewang dengan dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung Belawa Orai. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara.
Pada masa pemerintahan We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone dengan Kompeni Belanda kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni Belanda selalu menekankan untuk memperbaharui kembali Perjanjian Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni Belanda tetap kokoh. Akan tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk tidak akan memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.
Kemanakannya inilah yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal dunia, kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru, cucu dari MatinroE ri Laleng Bata.
Dengan demikian antara Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan perang. Arumpone We Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang bernama La Cibu To LebaE Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur Jenderal Belanda yang bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat La Tenri Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang.
Arumpone Besse Kajuara berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan Bone. Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar tidak terlalu banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse Kajuara meninggalkan Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.
La Cibu Addatuang Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk memilih tempat diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta. Setelah beristirahat beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap.
Selanjutnya Besse Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan memperhatikan kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia. Karena ia meninggal di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri Majennang Suppa.
Adapun anak yang dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng, adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi, meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung Suppa.
Selanjutnya Besse Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La Onro Datu Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari perkawinannya itu tidak mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,
Anaknya yang lain bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru Karaeng Baine ri Gowa.
Setelah I Malingkaang Karaeng Katangka meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang menjadi Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri). Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu.
Dari perkawinan Arung Alitta dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu Suppa. La Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya yang bernama La Mahmud Karaeng ri Baroanging.
We Seno dengan La Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi, kedua bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak pernah menikah.
La Mappanyukki kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng Tinggi Mae Datu Suppa. Dari perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We Maddelu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak Gellarang Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.
Ketika We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone, Pembesar Kompeni Belanda menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka.
30. SINGKERU’ RUKKA ARUNG PALAKKA
(1860 – 1871)
Singkeru’ Rukka Arung Palakka adalah anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Cucu dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’ Rukka Arung Palakka pernah juga menjadi Arung Bulobulo.
Dia diangkat menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni Belanda dan bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan akkarungeng di Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu menemani Kompeni Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa.
Pada tanggal 13 Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni Belanda selesai, sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk sementara, karena Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam khutbah Jumat namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun 1871 M. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah MatinroE ri Topaccing.
Arumpone Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng. Anak La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone dengan isterinya We Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Patima Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo. Anak We Pada Arung Berru dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri Kalabbiranna. We Patima Banri Arung Timurung dengan I Magguliga Andi Bangkung melahirkan seorang anak perempuan bernama We Sutera Arung Apala.
Selanjutnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I Kalossong Karaeng Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi Karaeng Sigeri. Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I Jora, lahirlah La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone. Kemudian La Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung Data. E Suka Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung Melle. Anak dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya We Kusuma, anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone. Dari perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng.
La Mandapi kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung Ponceng. Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian La Patarai kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan isterinya We Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La Patarai dengan We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La Takdir dan We Megawati.
We Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela dengan suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu JowaE kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya itu lahirlah Amirullah.
Arumpone Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di Bone dari tahun 1860 sampai tahun 1871. Kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing, sehingga dinamakan MatinroE ri Topaccing.
31. FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta.
Dalam tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.
Setelah Arumpone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arumpone We Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan isterinya sebagai Arumpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na.
Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.
Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat anak Fatinah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala menjadi Mangkau’ di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru berusia 13 tahun.
Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkau’ ri Bone adalah saudara MatinroE ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri.
32. LA PAWAWOI KARAENG SIGERI
(1895 – 1905)
La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate.
Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.
Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan.
Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.
Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M.
Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone.
Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.
Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.
Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo.
Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta.
Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.
Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.
Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident.
Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.
Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A.
Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ;
1. Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa.
2. Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur.
3. Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur.
4. Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda
di Tosora) diperintah oleh Controleur.
5. Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.
Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng.
Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.
Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.
Yang pertama - tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.
Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit.
Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone.
Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.
Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang).
Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.
Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa.
Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.
Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.
33. LA MAPPANYUKKI DATU LOLO RI SUPPA
(1931 – 1946)
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa yang juga dikernal dengan nama Datu Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M, ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa, sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu ayahnya.
Adapun sebabnya Gowa diperangi oleh Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.
Perang Gowa berakhir dengan gugurnya KaraengE ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh karena itu KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La Mappanyukki diangkat menjadi Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Bone.
Ibu dari La Mappanyukki bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata.
Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931 M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya yang bernama La Pangerang itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat ayahnya tidak berkesempatan.
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M. dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika. Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo. Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri. Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena Jepang merasa semakin terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 M. Jepang menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken Kanrikan.
Pada awal Kemerdekan Indonesia banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun anaknya yang bernama La Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang. Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak La Mappanyukki dengan isterinya yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari, adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;
1. Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone.
2. Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang.
3. Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya Watassoppeng.
Hal yang demikian, merupakan realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya. Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang.
34. LA PABBENTENG PETTA LAWA
(1946 – 1951)
La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwi Tunggal Sukarno- Hatta.
La Pabbenteng adalah anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid Ponggawa Bone yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta, Arumpone ke 31.
Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi Mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Hadat Tujuh Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa.
Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler.
Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya.
Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyatannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga.
La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya.
Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan.
Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.