Selasa, 18 Maret 2008

Fisika Teori atau Eksperimental

Ketika orang mendengar kata ilmuwan Fisika, tentu bermacam imaji muncul di benak mereka. Mungkin mulai dari sosok serius, berkacamata tebal dengan jas lab berdiri di depan alat-alat aneh dan rumit atau bisa juga malah wajah Albert Einstein -ikon jenius abad 20- yg muncul. Sebenarnya kedua gambaran itu tidak sepenuhnya salah. Malahan kedua gambaran itu masing-masing mewakili “divisi” dalam ilmu Fisika.

Secara tradisional, ilmuwan Fisika terbagi menjadi dua kubu: teoritis dan eksperimentalis, Fisika teori dan Fisika eksperimental. Sosok dengan jas lab dan alat-alat itu menggambarkan fisikawan eksperimentalis ( walau mereka ga slalu pake jas klo lagi kerja ) dan Albert Einstein adalah contoh sempurna seorang fisikawan teoritis.

Sains dipelajari dengan pengamatan (observasi) terhadap alam. Berdasarkan data-data yg didapatnya, seorang ilmuwan kemudian menyusun teori yg kemudian diuji lagi dengan pengamatan, kalau kemudian kemudian ada ketidakcocokan ( dan biasanya selalu ada ) maka teori yg ada itu harus direvisi atau malah diganti dengan yg baru untuk kemudian diuji lagi. Begitulah metodologi dalam mempelajari sains (Fisika, Kimia, Biologi). Tapi ciri khas dari Fisika dibanding ilmu-ilmu lain adalah teori Fisika biasanya dituliskan dalam bahasa matematika ( kenapa? bacalah artikel ini sampai selesai! )

Fisika juga bagian dari sains dan memiliki metodologi pengembangan yg sama. Kita ambil contoh Galileo, beliau melakukan eksperimen ( observasi/pengamatan), untuk menguji hukum gerak yg disusun oleh Aristoteles dan menemukan ketidakcocokan, maka Galileo pun melakukan revisi terhadap teori gerak Aristoteles untuk kemudian di masa depan di sempurnakan oleh Isaac Newton menjadi 3 hukum gerak yg kita pelajari di SMA. Hukum gerak Newton pun ternyata terbukti harus direvisi lagi, ini terjadi setelah orang gagal mencocokkannya dengan Elektromagnetik. Maka lahirlah Relativitas Khusus Eintein yg merupakan koreksi/revisi dari Hukum Gerak Newton.

Nah, kembali lagi ke topik, Newton dan Galileo adalah tipe fisikawan teori dan eksperimentalis sekaligus, karena mereka melakukan eksperimen dan pengembangan teori secara bersamaan. Tapi seiring perkembangan ilmu Fisika, metode eksperimen dan teoritis masing-masing tumbuh menjadi semakin kompleks. Eksperimen semakin menuntut teknik yang canggih dan teori pun bertambah kaya dengan teknik-teknik matematika yang semakin rumit. Akhirnya para fisikawan pun secara alami terbagi dua, mereka yg fokus melakukan eksperimen atau fisikawan eksperimentalis dan mereka yg fokus ke pengembangan teori atau fisikawan teoritis.

Sekat antara kedua kubu ini sebenarnya tidak terlalu rapat, eksperimentalis pun melakukan pengembangan teori, tapi seringnya teori itu berbentuk kualitatif. Para fisikawan teoritis lah yg umumnya menyusun hukum-hukum Fisika dalam bahasa matematika. Ketika para eksperimentalis menguji teori-teori Fisika dengan eksperimen, para teoritisi pun melakukan pengujian dengan mengembangkan atau menerapkan teori-teori mereka untuk menjelaskan berbagai fenomena alam juga mencocokkannya dengan teori-teori lain. Dalam melakukannya para teoritis bersandar pada analisa matematika , itu sebabnya teori Fisika selalu dituangkan dalam bahasa matematika, karena matematika adalah alat pengembangan yg sesuai untuk teori Fisika. Di setiap langkah, para teoritisi selalu mencocokkan hasil perhitungan mereka dengan eksperimen.

Membaca uraian diatas, pastinya pikiran kita menarik kesimpulan bahwa dalam fisika, eksperimen selalu berada di depan. Tapi kenyataannya tidaklah selalu demikian. Nah, disinilah uniknya Fisika hehehe.. . Yang justru seringkali terjadi adalah ramalan para teoritisi mendahului hasil eksperimen. Menakjubkan memang, para fisikawan teoritis, dengan hanya mengandalkan analisa matematis mampu membuat prediksi-prediksi yg luar biasa sehingga timbul kesan bahwa persamaan - persamaan itu mengandung kebenaran lebih dalam dari yg kita kira.

Contoh yg paling jelas dari hal diatas adalah penemuan anti-materi, dimasa itu orang-orang menganggap bahwa partikel elementer di alam semesta ini hanyalah elektron dan proton. Adalah seorang bernama Paul Dirac, ketika itu ia berusaha menggabungkan teori kuantum dan relativitas khusus kedalam satu teori yg padu dan konsisten. Dia menemukan bahwa satu-satunya cara agar teorinya konsisten adalah keberadaan suatu partikel yg persis dengan elektron tapi memiliki muatan yang berlawanan dengan elektron. Ketika itu tidak ada orang yang percaya sampai suatu hari seorang eksperimentalis berhasil mendeteksi keberadaan partikel itu. Partikel itu diberi nama positron, dan kajian Fisika anti-materi pun lahir.

Paul Dirac sendiri adalah tipe fisikawan teoritis tulen yg mengagungkan keindahan dan elegansi matematis diatas segalanya, bahkan diatas data eksperimen. Dia berkeyakinan bahwa kalau suatu teori telah memiliki keindahan matematis, maka teori itu telah ada di jalur yg benar, kalau pun tidak cocok dengan eksperimen saat itu, maka eksperimen itulah yg harus disempurnakan. Penemuan positron semakin menguatkan prinsipnya itu.

Saat ini selain eksperimental dan teori, ada pula yg namanya Fisika Komputasi yg posisinya ada diantara teori dan eksperimen. Penjelasannya membutuhkan artikel tersendiri, kalau sempat akan saya tulis dilain waktu.
----chiko-----